Makna Senyuman

Ahad (9/3/08) di tengah cuaca pagi Jakarta yang agak mendung, langit memayungi bumi dengan bersahabat. Jakarta yang sesunguhnya panas karena polusi yang tak terkendali, seolah hari itu diberikan previllege dengan kesejukan yang tak biasa. Hari itu ada amanah yang harus aku jalankan, pukul 7 pagi aku harus sudah meluncur ke daerah senayan tepatnya di masjid Al-Bina. Hanya tiga puluh menit waktu yang kutempuh untuk sampai di sana, sudah banyak orang yang hadir disana, umumnya mereka adalah para petugas catering dan juga panitia dari pihak keluarga yang hendak melakukan hajat hari itu.

Agendaku hari itu adalah menjadi pagar bagus untuk seniorku. Orang yang akan walimahan hari itu adalah seniorku di kampus baik mempelai wanita maupun pria, meskipun sang calon pengantin pria berbeda fakultas denganku tetapi aku cukup mengenalnya dengan baik. Terlebih pada saat pertama kali aku ikut dauroh awalan di kampus dialah yang menjadi pengisi acaranya, begitu juga ketika aku mulai aktif diormawa dialah salah satu mentor terbaikku. Untuk calon pengantin wanitanya dia, satu fakultas denganku dan satu organisasi ketika aku masuk kampus pertama kali.

Pukul 08:30 selepas shalat Dhuha, ring tone hpku berdering, bunyi sms masuk. Dari seniorku di sekolah ketika kubaca sang pengirim dari kotak inbox, kalimat pembukanya sungguh membuat tanganku tergetar, Innalillahi wa innalillahi roji'un telah meninggal dunia..... 160 character isi sms itu, sama dengan kapasitas hpku.
Sebuah kabar duka aku terima, ayah dari adik kelasku meninggal dunia di pagi yang sejuk itu. Bimbang tak tahu harus berbuat apa, ingin aku segera menuju ke tempatnya tapi ada amanah yang harus aku kerjakan beberapa jam lagi. Kuputuskan untuk memberi tahu dahulu teman-teman alumni rohis SMAku dulu, kemudian menelpon temanku untuk mengkoordinir teman-teman yang mau takziah lebih awal dari diriku. Teman-temanku bersepakat untuk takziah ba'da zuhur, berangkat bersama-sama dengan yang lainnya.

Pukul 09:00 acara akad nikah dimulai di ruang shalat Masjid Al-Bina, sederhana, yang hadir pada saat itu hanyalah keluarga dari kedua mempelai dan beberapa orang panitia yang mayoritas adalah adik kelas dari kedua calon mempelai. Tilawah, sambutan, taujih pembuka dari sang penghulu pun berlalu, babak yang menegangkan sebentar lagi akan hadir. Ijab Qabul! dipimpin sang penghulu, maka dusst... mempelai pria gugup, panik, salah dalam melafaskan ijabnya!! Diulang sekali lagi! dan yang kedua ini mulus, lancar tanpa kesalahan satupun, semua bersyukur dalam hati babak yang menegangkan telah berlalu. Setelah khutbah nikah & acara sungkeman sang pengantin pun diabadikan, senyum bahagia merekah di kedua pasang insan yang tengah berbahagia.

Pukul 10:20 di dalam ruang ganti pakaian, sang pengantin pria tampak begitu bergembira, berbagi kebahagiaan kepada orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Tak lupa dia ceritakan bagaimana perasaannya ketika ijab qabul tadi, yang sempat salah, tak ada lagi perasaan tegang di wajahnya, senyuman terus dia lempar bahkan tawanya mengiringi ketika ia bercerita tantang momen beberapa saat yang lalu itu. Resepsi dimulai, upacara adat mengawali jalannya acara resepsi dan selanjutnya berjalan seperti acara walimatul urs pada umumnya.

Pukul 19:20, komplek paspampres, kampung tengah, Jaktim. Sepeda motorku memasuki halaman parkir masjid komplek tersebut. Selesai wudhu kakiku melangkah ke dalam masjid, kupandangi jama'ah yang baru saja selesi shalat sunnah, mencoba mencari sesosok pemuda tinggi, yang air mukanya menyejukan hati. Dan disudut kiri masjid aku melihatnya, berdiri menggunakan kaos, kumelangkah menuju arahnya. Kupanggil namanya dan kupeluk tubuhnya, kuucap bela sungkawa dan meminta maaf akan keterlambatan aku untuk hadir ke rumah duka. Tersenyum, itulah responnya dan berkata lembut memaklumi akan keterlambatanku. Kumandang iqamat isya membuat kami tidak bisa berbincang banyak.

Selepas Isya kami pun menuju rumahnya yang malam itu mengadakan tahlilan. Setiba di halaman rumahnya, kami berbincang sejenak. Tak ada raut wajah tangis berlebih darinya, yang ada hanya senyuman yang menyejukkan hati, kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan jelas tergambarkan di raut wajahnya. Begitu kuatnya ia ditinggal sang ayah pergi untuk selamanya, sampai-sampai senyuman yang khas melekat diwajahnya tak henti ia berikan kepada para tetangga yang datang untuk melaksanakan tahlilan.

Senyuman yang mungkin kalau boleh aku tuliskan adalah sebuah senyuman lega, mengingat sang ayah telah dirawat lebih dari dua minggu. Aku tahu hal ini karena, tiap kali ada agenda syuro alumni SMAku ia selalu izin lebih awal untuk menjaga sang ayah yang tengah dirawat di rumah sakit. Meski begitu ia tetap berusaha untuk hadir syuro walau hanya sebentar. Jum'at (7/3) ia izin tidak bisa ikut Raker karena menjaga sang ayah, dan dua hari kemudian kabar duka menghampiriku.

Waktu adalah keajaiban, di satu waktu ada dua orang yang berbahagia karena berhasil menyempurnakan separoh agamanya tetapi disaat yang bersamaan ada keluarga yang berduka karena telah kehilangan orang tercintanya untuk selamnya. Tetapi di waktu yang bersamaan sepertinya senyum tetap menghiasi orang yang berbeda ikhwal tersebut, senyum dengan sejumlah makna yang berbeda tetapi menggambarkan hal yang serupa. Pasangan pengantin tersenyum seolah menatap hari esok yang cerah bersama sang pujaan hati, di lain sisi keluarga yang ditinggalkan sang ayah tersenyum karena mengetahui sang ayah telah menghadapi sang khalik dengan terlebih dahulu dicuci dosanya dengan sakit yang menimpanya sebelum kematian menjemput. dan yang pasti sang orang tua pengantin bangga dengan anaknya yang telah memasuki babak kehidupan baru. Begitu juga dengan sang ayah yang telah tertimbun tanah pasti juga tersentum, karena telah berhasil menididik anak-anaknya menjadi anak yang sholeh & shloeha karena menerima dengan ikhlas kematiaannya dan berazam untuk tetap mencintai dakwah.

http://hudzaifah.org

Leave a Reply